GoriGorinaMoury

Sabtu, 23 April 2016

Tampaning Bukan Hanya Sekadar Batu Akik

Jalan setapak menuju Dusun Tampaning

Saya menyambangi Dusun Tampaning jauh sebelum demam batu akik. Tahun 2015, yang seketika itu mengangkat nama Tampaning dikenal khalayak luas di berbagai daerah, luar kota bahkan hingga ke mancanegara. Ketika browsing di internet pun, Dusun Tampaning yang kita temukan hanyalah mengenai seputar batu akik.

Tahun 2013 silam, tepatnya di Dusun Tampaning, Kabupaten Soppeng. Saat itu saya dan sahabat saya Ewind sedang melakukan penelitian skripsi dan menetap disana selama satu bulan lebih. Akses menuju ke Tampaning pun tidak kami lewati dengan mudah, perjalanan dari kantor Desa Patampanua  menuju ke Dusun Tampaning menempuh jarak sekitar 15 km dengan kemiringan yang tajam serta jalan yang belum tersentuh oleh aspal. Bebatuan menemani perjalanan kami menggunakan motor dengan bawaan yang tidak sedikit.

Carieer 80 kg yang saya bawa dari Makassar untuk persiapan satu bulan, harus ikut berboncengan di belakang saya. Ewind hanya membawa tas ransel dan juga tas pinggang kecil. Kami berboncengan menuju Dusun Tampaning.

Drama itu dimulai, ketika kami sadar sepanjang perjalanan menuju jalan bebatuan itu, kami terus menempuh tanjakan curam yang berkelok-kelok, sangat jarang kami mendapatkan jalan yang datar, bahkan ada yang memiliki tanjakan nyaris 90 derajat, terpaksa saya harus turun dari motor dan berjalan kaki melewati tanjakan.

Kami sempat beristrahat dan menikmati pemandangan yang cukup indah dari ketinggian, kanjeng Ewind sapaan akrab saya, menyarankan untuk berhenti sejenak beristirahat, saya tahu sangat melelahkan menempuh jarak yang tidak dekat dengan kondisi medan yang berat. Untung saja saat itu tidak hujan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya perjalanan kami itu.

Sesampainya di Dusun Tampaning, kami disambut baik dengan warga dan juga stakeholder setempat. Kami tinggal di rumah indo’ Aji, salah seorang kerabat Pak Desa yang hanya tinggal seorang diri di rumahnya. Usianya sekitar 70 tahun, tapi beliau masih sangat kuat dan tampak sehat, para tetangga indo’ Aji pun menyambut kedatangan kami dengan sangat baik, mereka bersedia membantu kami kapan saja.

“Engkah mato’ tu signal hape kuwedeh...tafi’nah mirifi biasa anging’e na mattama sms’e” saya fikir Indo’ sedang bercanda dengan mengatakan bahwa signal di sini ada tapi hanya ketika angin sedang bertiup kencang barulah sms akan masuk. Saya bergantian dengan Ewind mengecek signal, syukur-syukur jika ada sebatang namun tak bertahan lama kemudian hilang lagi.

Angin berhembus menggoyahkan pohon kemiri tepat di samping rumah Indo’ yang tumbuh besar menggemuruhkan atap seng rumah kayu yang kami tinggali. Bunyi nada sms terkirim dan beberapa deretan pesan di kotak masuk hp, membuat saya seperti mendapatkan nyawa kembali. Haha....ternyata Indo memang cool:D

Momen sholat magrib berjamaah menjadi sangat di nanti saat menjelang malam. Kak Hatang (penduduk asli), telah menyarankan kami untuk charge hp ataupun laptop di mesjid karena genset mesjid setiap harinya akan di nyalakan saat masuk waktu salat magrib, isya, subuh dan salat jumat saja. Saya, Ewind dan beberapa anak muda penduduk asli menjejerkan posisi gadget kami masing-masing di stok kontak yang tersedia.

Terkadang setelah salat magrib, kami pun rela menanti hingga masuk jadwal salat isya demi menunggu batere terisi dengan full. Maklum hiburan kami saat menjelang malam hanyalah pemutar musik, galeri foto (mengobati kerinduan) dan menunggu angin kencang agar sms kami terkirim.

Sebenarnya sudah ada beberapa rumah yang memiliki pembangkit listrik tenaga surya termasuk rumah Indo Aji sedangkan beberapa rumah lainnya masih banyak menggunakan lampu minyak. Namun hasil dari penampungan tenaga surya itu hanya mampu mencukupi penerangan di malam hari saja dan itu pun tidak maksimal karena terkadang kami merasakan penerangannya sangat redup sehingga kami tidak berani mengisi daya telpon selular kami di rumah Indo’Aji.

Mata pencaharian penduduk Dusun Tampaning hampir seluruhnya adalah petani, pendidikan mereka dan anak-anaknya dirasa cukup ketika telah tamat Sekolah Dasar (SD). Setelah tamat SD anak laki-laki membantu orang tuanya bekerja di kebun, sedangkan anak perempuan yang telah tamat SD akan siap untuk dinikahkan.

Mata pencaharian utama sebagai petani kemiri dan sampingan mencari madu hutan

Hanya beberapa orang tua yang memiliki kondisi ekonomi yang lebih baik dan kesadaran akan pentingnya pendidikan sehingga mereka mampu menyekolahkan anaknya ke kota serta membiayai kos (tempat tinggal) anaknya selama menempuh pendidikan lanjutan.

Adapun sekolah dasar yang berada di Dusun Tampaning ini hanya merupakan kelas jauh. Filial atau kelas jauh merupakan kelas yang dibuka di luar sekolah induk diperuntukan untuk siswa-siswi yang tidak tertampung di sekolah tersebut baik karena keterbatasan kursi (ruang kelas) atau jarak tempat tinggal siswa-siswi yang jauh.

Sementara Guru yang biasanya datang mengajar hanya 2 kali seminggu menurut keterangan warga sekitar, ini di sebabkan lokasi tempat tinggal guru yang berada di luar dari Dusun Tampaning dan kesulitan jika harus tiap hari datang mengajar dengan menempuh perjalanan yang jauh dengan medan yang berat.

Ketika Ujian Nasional murid kelas jauh di Dusun Tampaning harus menyesuaikan diri dengan murid lainnya di kota dan melakukan ujian di sekolah induk, sedangkan sudah jelas dari segi fasilitas, pelajaran dan mental mereka selalu menjadi yang tertinggal.

Mereka adalah anak-anak yang selalu ceria, tiap pagi saya perhatikan dari atas rumah Indo’, jam stengah 7 mereka sudah lengkap berbondong-bondong dengan seragam dan tas di pundak masing-masing. Masih ada diantara mereka yang memakai baju pramuka di hari senin, memakai sandal dan memakai sepatu tanpa kaos kaki. 

Mereka tidak tahu apakah guru hari itu akan masuk mengajar ataupun tidak. Semua tampak ceria bercanda dan saling mengganggu satu sama lain dan berkumpul di pos ronda dekat dari sekolah mereka sambil menunggu kedatangan gurunya.

Saya melihat jam dinding sudah pukul 08.00 wita secangkir teh saya pagi itu sudah habis,  jadwal kegiatan saya sedang kosong, saya melihat mereka masih bermain menggunakan seragam dan menunggu guru yang tak kunjung datang.

Dengan bermodalkan mood yang sedang baik saya menghampiri mereka dan menyeru mereka untuk masuk kelas. Mereka dengan tampak malu-malu tetap mengikuti seruan saya. Saya melihat beberapa dari orang tua mereka memperhatikan dari kejauhan kedatangan saya mengusik anak-anak berseragam itu. Wajah mereka tampak heran namun tidak menampakkan penolakan.

Kelas mereka tidak terkunci, susunan bangku seperti biasa berjejeran menghadap papan tulis yang lengkap dengan kapur. Hari itu saya berencana memberikan mereka permainan dan menyelipkan beberapa pelajaran mengingat mereka tergabung dengan tingkat kelas yang berbeda-beda. Saya melihat tidak ada tanda-tanda kedatangan guru, saya bebas membuat mereka bermain hari ini. Mereka membantu saya menata bangku mereka menjadi bentuk U atau tapal kuda, tujuannya karena saya ingin bermain bersama mereka.

Setelah selesai mengatur bangku menjadi bentuk U saya memperkenalkan diri dengan percaya diri dan menagih mereka juga untuk memperkenalkan dirinya masing-masing. Walaupun masih malu-malu, dengan tertib mereka satu per satu menyebutkan nama lengkap, nama panggilan dan tingkat kelasnya, tak jarang di antara mereka yang memasukkan kepalanya di dalam laci meja sambil menyebutkan namanya karena masih terlalu malu.

Saya memulai permainan di kelas dengan mengoper pulpen satu sama lain sambil bernyanyi lagu kanak-kanak yang mereka tahu dan ketika saya mengatakan ‘stop’ mereka harus berhenti dan pemegang pulpen terakhir harus menerima hukuman yaitu membacaBahkan dari permainan itu saya mengetahui beberapa dari mereka ada yang telah duduk di kelas empat (4) dan kelas lima (5) tapi sama sekali belum mampu membaca dengan lancar. Kami menghabiskan waktu 2 jam saat itu dengan pelajaran membaca dan menulis.
foto perpisahan menjelang pulang ke Makassar
Hari-hari berikutnya, saat tidak ada tanda-tanda kedatangan guru, tiap pagi anak-anak itu datang kerumah Indo’ dengan panggilan mereka yang bersorak bersamaan, saat itu saya mengajak Ewind untuk ikut bermain bersama anak-anak, kami berencana mengajarkan mereka tata cara upacara dan gerak jalan. 
Walaupun di antara mereka masih kaku menjadi pemimpin upacara, ada juga yang belum percaya diri menjadi kelompok paduan suara dan tidak terlalu hafal lagu kebangsaan, namun mereka sangat antusias mempelajarinya.
foto perpisahan dengan Indo Aji dan anak-anak
Tampaning bukan hanya sebuah nama dari aksesoris batu akik yang di gemari, diburu dan akan redup ketika peminatnya telah bosan. Di sana masih ada banyak bongkahan batu berlian yang kelak akan membanggakan daerah bahkan bangsa. Mereka mungkin hanya memerlukan sedikit akses jalan yang jauh lebih memadai, karena pendidikan yang layak adalah hak mereka.


Ditulis di kamar, 20 April 2016wenwenmoury





Kamis, 14 April 2016

Pete Pete oh Pete Pete

Sumber : mediamakassar.com
Mengendarai motor sebenarnya bukan hal baru buat saya. Namun setelah kecelakaan 6 (enam) tahun silam yang menyebabkan motor bapak saya rusak, celana saya robek dan beberapa luka  abadi di lutut dan siku saya, membuat saya harus mengubur keberanian mengendarai motor itu dalam-dalam.

Seiring berjalannya waktu, saya merasa kegiatan saya sangat terbatasi karena tidak mampu mengendarai motor. Sering kali saya tidak menghadiri kegiatan yang ingin saya hadiri karena alasan tempatnya terlalu jauh dan tidak ada yang antar-jemput serta akses angkutan umum yang sulit. Saya malas harus menyambung kendaraan beberapa kali pada titik tertentu yang tidak dijangkau oleh angkutan umum. Hal tersebut sungguh melelahkan dan menguras banyak waktu dan uang tentunya.

Kakak saya harus mengajar di sekolah  setiap harinya,  sedangkan adik laki-laki saya beberapa waktu lalu  ke Padang Lampe mengikuti kegiatan kampus dan akan menetap disana selama sebulan, sementara bapak saya selalu sibuk mengurusi usahanya setiap hari. Mereka adalah orang-orang yang selalu setia mengantar saya kemana-mana dan saat ini saya tidak bisa mengandalkan mereka. Hmm..pacar?? eaaa… pacar mana pacar?? (berusaha tegarr..haha). Semua hal itu yang  membuat saya harus memutar otak bagaimana saya dapat mandiri dan tidak menyusahkan orang lain.

Saat itu saya harus mengurus sesuatu yang sangat penting dikampus dan tidak ada satu orang pun yang bisa saya minta tolongi untuk antar. Dirumah ada sebuah motor Supra X  keluaran tahun 2001  yang terparkir rapi dan menganggur. Saya mengumpulkan nyali untuk memberanikan diri berangkat menggunakan motor itu menuju kampus merah yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan yang cukup jauh dari rumah saya. Sebelumnya saya tidak pernah mengendarai motor sejauh itu dijalan raya, biasanya hanya disekitar lorong perumahan dan itu pun sangat jarang saya lakukan.

Mau tak mau saya harus menempuh perjalanan sekitar 20 menit menyusuri jalan raya dan hari itu adalah pengalaman pertama saya mengendarai motor di jalan raya. Dengan tangan cukup tegang memegang kuat stang motor, kaki kiri menapak aspal yang cukup panas di bawah terik matahari menahan keseimbangan motor yang sedang berhenti sejenak. Saya merasakan  pundak saya mengeras kaku, saya merasa sepanjang perjalanan wajah saya tidak pernah rileks.

Di lampu merah Daya, tiba-tiba bunyi klakson saling beradu, mengisyaratkan lampu lalu lintas warna merah telah berganti dengan warna hijau. Saya berada tepat di baris terdepan dengan kendaraan di samping kiri dan kanan yang sejak tadi ikut menanti lampu hijau menyala. Saya melaju dengan kecepatan sedang, meninggalkan lampu lalu lintas.

Sepanjang perjalanan saya berusaha untuk tetap rileks. Meyakinkan diri untuk tetap fokus dengan kecepatan hanya berkisar 30-40 km/jam. Tiba-tiba angkutan umum, yang lebih akrab disebut ‘pete pete’ oleh warga Makassar, berhenti mendadak di depan saya. Sontak saya menarik rem tangan dan mengundurkan persenelan. Tanpa rasa bersalah, si supir pete pete baru menyalakan wesernya (lampu sein) dan meminggir perlahan ke sebelah kiri jalan.

Rasanya ingin memaki supir pete-pete itu di depan wajahnya, namun saya tidak cukup berani melakukan hal itu. Saya pun kembali melaju dengan motor butut saya, jantung masih berdebar kencang sepanjang perjalanan karena kejadian tadi. Saya hanya bisa terus menggerutu di dalam hati dan membayangkan bagaimana kiranya kalau tadi saya benar-benar menabrak pete-pete itu. Ah masalah!

Saya lama menjadi penumpang setia pete-pete dan saya memerhatikan hal yang menyebabkan pete-pete sering berhenti mendadak tidak lain adalah untuk mendapatkan penumpang di pinggir ataukah ingin menurunkan penumpang di pinggir jalan. Entahlah kalau ada hal lain yang membuatnya kaget dan berhenti mendadak seperti dapat telfon kalau istrinya mau melahirkan ataukah kedapatan selingkuh oleh istrinya (haha abaikan).

Pernah suatu waktu saya naik pete-pete dan mendapati penumpang meneriaki supir untuk berhenti tiba-tiba. Suaranya yang keras menggelegar tentu sangat mengagetkan supir yang tadinya sedang melaju dengan tenang dan seketika itu menginjak rem secara spontan. Di sini yang harus cerdas adalah penumpang bagaimana ia harus memperkirakan kapan dia akan turun dan kapan ia harus memberitahukan berhenti kepada sang supir.

Perjalanan ke kampus yang tidak mulus kembali harus saya alami saat menuju jalan pulang, kembali lagi saya harus berurusan dengan pete-pete.  Kali ini saya mengambil jalur aman dengan berada tidak terlalu di pinggir jalan raya dan juga tidak terlalu di tengah badan jalan untuk  mengantisipasi kejadian tadi berulang. Tapi tiba-tiba sebuah  pete-pete kembali mengambil jalur kiri yang sangat dekat dengan stang motor dan menerobos ke depan saya dengan cepat. Saya kaget sambil menginjakkan rem kaki dengan tersendat-sendat sambil mengurangi kecepatan.

Pengalaman buruk dengan pete pete juga dialami oleh Kak Ifa salah satu kakak kelas di Kelas Kepo. “Saya sering hampir tabrak pete-pete. Ada yang tiba-tiba berhenti, ada yang ambil jalur kiri tanpa menyalakan lampu sein dan ada juga yang menurunkan penumpang sembarangan. Saya sering istigfar setelah mengumpat dalam hati kalau ketemu supir pete-pete yang seperti ini. Jalanan Makassar memang keras dek, perempuan harus bisa bertahan” keluhnya.

Penyebab semrawutnya jalan raya di Makassar bukan hanya dilakukan oleh pete-pete saja tetapi kendaraan lain pun terkadang melakukan hal demikian. Pengguna jalan harus lebih bijak memperhatikan keselamatan dirinya dan orang lain disekitarnya.

Terima Kasih
Ditulis di Kafe Pojok, 14 April 2016
_wenwenmoury_



Lebih Dekat dengan Orang Selatan (Tolotang)


Masyarakat Tolotang (sumber gambar: google)
Dua mobil Panther yang kami sewa masih terpakir rapi di depan rumah Pak Sunarsih seorang Kepala Lingkungan yang kerap disapa Pak Lingkungan, juga biasa disapa Uwak. Orang-orang memanggilnya demikian karena beliau memiliki darah keturunan seorang tokoh Tolotang.

Tolotang merupakan sebuah kepercayaan yang terutama dianut oleh warga kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Sekitar 5000 warga di wilayah itu menganut kepercayaan yang sudah turun temurun. Karena pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama, selebihnya dikategorikan sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (sumber wikipedia). Penganut Tolotang tidak mau disebut sebagai penganut aliran kepercayaan, sebagian besar mereka memilih menuliskan agama Hindu di KTP.

Saya pernah mendengar mengenai cerita asal usul Tolotang dari salah satu teman peneliti senior bernama Kak Dani. Ia bercerita awalnya leluhur mereka berasal dari Kabupaten Wajo namun setelah Islam masuk ke Kabupaten Wajo, Raja Wajo saat itu memerintahkan semua masyarakat untuk beralih memeluk Islam dan meninggalkan semua ajaran yang dipahami sebelumnya yaitu ajaran Sawerigading.

Raja Wajo mengusir masyarakat yang tidak ingin memeluk Islam pada saat itu, masyarakat yang tetap berpendirian teguh terpaksa harus meninggalkan tempat asal mereka dan mencari tempat untuk tinggal. Tibalah mereka di Kerajaan Sidenreng, mereka di sambut dan diterima dengan baik oleh Raja Sidenreng pada saat itu dan dengan kebaikan hati Raja Sidenreng, mereka diberikan tempat di daerah bagian paling selatan Kerajaan Sidenreng dengan syarat mereka harus saling menghargai dan menghormati agama lain di sekitarnya. Saat itu mereka lebih sering disebut dengan julukan “orang selatan/ tolotang” 

Salah satu staff kelurahan mengantarkan kami ke rumah Pak Lingkungan. Sembari menunggu dan meregangkan persendian tubuh akibat perjalanan jauh, saya memperhatikan keadaan di luar dan terfokus pada  keunikan rumah Pak Lingkungan yang memiliki tiang berbentuk bulat, sebuah keunikan yang tidak biasa saya jumpai pada bangunan rumah kayu adat Bugis. Setelah membandingkan dengan rumah yang ada di sekitarnya saya baru menyadari bahwa ternyata hampir seluruh rumah yang saya lihat memiliki tiang bulat yang sama, hanya ukuran yang membedakan. 

Di balik jendela mobil,  Mas Asmadi yang merupakan supervisor kami, tampak terlihat berusaha menjelaskan maksud kedatangan kami pada Pak Lingkungan dan staff kelurahan yang mengantar kami. 

Kabupaten Sidrap adalah salah satu dari 16 kabupaten di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang menjadi lokasi penelitian kami selama sebelas bulan terikat kontrak pada sebuah lembaga penelitian. Kedatangan kami menemui Pak Lingkungan adalah bagian dari awal penelitian yang akan kami lakukan tepatnya di Kelurahan Kanyuara kecamatan Watang Sidenreng. 

Berbekal izin yang telah diperoleh dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Kecamatan hingga Kelurahan, kami meminta izin untuk melakukan penelitian mengenai pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat di Kelurahan Kanyuara. Juga izin menumpang tinggal untuk beberapa hari ke depan.

Pak Lingkungan tidak mengizinkan kami tinggal di rumahnya, karena sebagai seorang uwak, rumahnya merupakan tempat warga Tolotang untuk melakukan acara dan berbagai ritual keagamaan. Salah satunya seperti mappaenre nanre yang mewajibkan setiap warga Tolotang perlu membawa beberapa sesajen, melakukan kegiatan berdoa dan meminta berkat dari Uwak.
Teman tim bersama Bapak Basecamp
Kesibukan dan posisinya tersebut tidak membuat Pak Lingkungan mengabaikan kedatangan kami, beliau tetap mengayomi kami dengan baik, ia mengantarkan kami ke rumah kerabatnya yang tidak jauh dari rumah Pak Lingkungan. Di sanalah kami tinggal bersama sepasang suami istri yang memiliki beberapa anak yang masing-masing telah berkeluarga. Terkadang hanya ada mereka berdua di rumah yang kami jadikan basecamp. Mereka pun menyambut kedatangan rombongan kami dengan sangat baik.

Masih sedang menikmati perkenalan bersama  dan bersenda gurau, terdengar suara adzan dari kejauhan. Saya meminta ibu basecamp untuk menunjukkan arah ke kamar mandi, ibu basecamp bertanya padaku “mauki salat?” saya menjawab “iye’bu...hehe”. Ibu basecamp menjawab “ouh iyah, di siniki salat nanti” sambil mengarahkan saya ke depan lemari yang memiliki ruang kosong di depannya, ibu base camp tiba-tiba mengeluarkan alat salat lengkap dengan sajadah dari lemari itu. Saya melihatnya dengan diam dan ibu base camp seperti bisa membaca segala pertanyaan yang ada fikiranku saat itu “bukanka’ agama Islam nak, tapi ada banyak keluarga yg Islam selalu berkunjung ke sini. Mereka sering lupa bawa alat salat setiap ke sini, makanya saya sengaja simpan supaya tidak lupa lagi” ibu basecamp tersenyum dan menyerahkan alat salat itu padaku “ouh iye ibu makasih, ada juga kubawa alat salat cuma masih ada di tas”, kataku sambil tersenyum. Ia pun menunjukan kamar mandi kepadaku.
Bersama Ibu Basecamp
Masak bersama ibu basecamp dan menyiapkan makan malam membuat kami mudah akrab dengan mudahnya. Sosok ibu basecamp yang berjiwa muda, humoris dan terus-terus saja menggodai saya dan kak lina (salah satu teman tim) untuk segera menikah, saya pun selalu menanggapi pembicaraannya dengan sedikit candaan menggunakan bahasa bugis dan ia sangat senang karena lebih mudah ia mengerti. 

Sambil memasak, ibu bercerita banyak tentang kunjungannya berdoa dan melakukan ritual keagamaan di makam dan berkunjung ke sumur tua yang ada di Pinrang, bahkan di beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Setiap tahun sudah menjadi sebuah kewajiban berkunjung berkeliling makam para leluhur, beberapa di antaranya seperti makam yang berada di daerah Perinyameng di Desa Amparita Kabupaten Sidrap dan leluhur mereka yang berada di Kabupaten Pinrang dll. 

Entah kenapa berbicara tentang perbedaan agama itu tidak membuat kami canggung sama sekali, saya juga sempat menanyakan mengenai mengapa tiang rumah warga di sekitar rata-rata berbentuk bulat dan ibu menjelaskan dengan singkat bahwa itu memiliki arti khusus, yaitu keyakinan sama halnya dengan tiang yang harus berdiri kokoh serta bulat seperti kepercayaan yang tidak ada keraguan lagi (setelah mengkonfirmasi kembali via telfon, ibu tidak menjelaskan secara spesifik). 

Selain itu, saya memberanikan diri menanyakan makanan apa yg mereka pantangi, sekejap ibu berkata dengan wajah yang memberikan isyarat menenangkan dengan wajahnya yang tersenyum bahwa ia juga tidak pernah makan-makanan yg di haramkan sama seperti islam dan itu cukup membuatku lega (tunggu cerita kelaparanku di Rantepao hingga Tana Toraja “memburu makanan halal ditengah gunung daerah terpencil”). (Satu hal untuk ini, setiap agama ataupun kepercayaan memiliki cara beribadahnya masing-masing, tidak ada hak atas paksaan di dalamnya, terlebih tidak ada hak saling menghakimi satu sama lain, merasa paling benar, berkata buruk  dan saling menyakiti. Mengutip beberapa terjemahan ayat Al-Qur’an Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku)

Pagi-pagi sekali sebelum berangkat melaksanakan tugas penelitian, saya bersama Kak Lina menyempatkan berbelanja untuk keperluan dapur basecamp di Pasar Tradisional Rappang. Sepulangnya kami sempat membeli ikan, telur, bumbu dapur, beras, serta semangka berukuran besar dua buah yang sangat segar. Kak Lina mulai memotong semangka itu dan mempersilahkan kami semua untuk menyantapnya termasuk ibu yang berada di tengah-tengah kami, ibu basecamp mengambil satu buah baki (nampan) berukuran kecil dan sempat meminta izin dengan logat Bugis khasnya “ibu ambil sebagian semangkanya nah untuk adekmu” kami yang berada di situ sontak meng-iyakan perkataan ibu ”iye bu..silahkan ” Mana ada anak atau adik kecil dirumah ini? Mungkinkah untuk anak kucingnya? (tanyaku dalam hati)

Kami melihat Kak Lina yang tampak tidak heran untuk berbagi cerita tentang hal itu. Kak Lina terus-terusan membuat kami penasaran dengan perkataanya “saya tau’ji untuk apa itu” kalimatnya yang meyakinkan mengetahui segalanya. 

Hingga ada suatu waktu saya pernah duduk santai di depan lemari sambil menyenderkan punggung dan mengutak atik HP, tidak sengaja ibu basecamp masuk membuka kamarnya dan lupa menutupnya kembali pintu kamarnya, saya sempat menoleh dan penasaran ada benda aneh yang sempat saya lihat di balik pintu kamar yang terbuka setengah, di antaranya mirip seperti tempat box bayi yang tertutupi oleh kelambu berwarna kuning, di depannya ada beberapa lilin merah yang sedang menyala dan beberapa sesajen buah-buahan yang telah tertata rapi di depannya. Seketika saya merinding dan merasakan hawa mistis, sontak saya mengalihkan pandangan dan menuju ke teras depan berkumpul bersama teman-teman yang lain. 

Saya menceritakan semua kejadian yang saya lihat itu kepada Kak Lina dan Ia pun menceritakan bahwa dulunya Ibu Basecamp pernah hamil namun di tengah usia kandungan, tiba tiba bayi itu hilang dari perutnya, percaya tidak percaya, penduduk sekitar sangat mempercayai hal itu dan adanya keyakinan bayi “mallajang” atau  masih hidup namun berada di keadaan dunia yang berbeda. Warna kelambu menandakan bayi itu berada di air atau di udara.
_Selesai_
Senin, 11 April 2016
Selesai ditulis dikamar, Pukul 22.20 wita